Pages

Senin, 20 Februari 2012

Tanam Paksa


Cultuurstelsel  Sistem Kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Sistem Budaya) yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa, adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 66 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak.
Berikut adalah isi dari aturan tanam paksa
§  Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
§  Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
§  Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
§  Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah per 

Kritik kaum liberal

Usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun 1870, dengan diberlakukannya UU Agraria,Agrarische Wet. Namun tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.
Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.
UU ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum (nila), atau untuk tanaman semusim seperti tebu dantembakau dalam bentuk sewa jangka pendek.

Kritik kaum humanis

Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860). Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda.
Seorang anggota Raad van Indie, C. Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.

Dampak

Dalam bidang pertanian

Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.

Dalam bidang sosial

Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya. Dan terjadinya perbedaan kelas antara para petani dan orang Eropa , mengakibatkan terbentuknya perbedaan ras .

Dalam bidang ekonomi

Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri.
tanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
§  Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
§  Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
§  Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.
Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.

Selasa, 14 Februari 2012

Konstantinopel

Patriark Ekumenis Konstantinopel (Bahasa Yunani: Οικουμενικός Πατριάρχης Κωνσταντινουπόλεως) adalah Uskup Agung Konstantinopel — Roma Baru — berkedudukan sebagai primus inter pares (yang pertama di antara yang sedeDalam kapasitas tersebut dia adalah tokoh pertama yang dihormati oleh seluruh uskup Ortodoks, mengepalai segala konsili para primat dan/atau uskup Ortodoks baik secara pribadi maupun melalui delegasi di mana dia ikut serta dan berperan sebagai pembicara utama bagi Komuni Ortodoks, teristimewa dalam kontak-kontak ekumenis dengan denominasi-denominasi Kristiani lainnya. Dia tidak memiliki yurisdiksi langsung baik atas para patriark lain maupun Gereja-Gereja Ortodoks otokefalus, namun dia, di antara rekan-rekannya sesama primat, adalah satu-satunya yang berhak menghimpun sinode-sinode luar-biasa yang beranggotakan para rekan primatnya dan/atau para delegasi mereka untuk membahas situasi-situasi ad hoc dan telah pula menghimpun sinode-sinode Pan-Ortodoks yang padat-hadirin itu dalam empat dasawarsa terakhir.
Selain menjadi pemimpin spiritual dari 300 juta umat Kristen Ortodoks sedunia, dia adalah superior administratif langsung dari keuskupan-keuskupan dan keuskupan-keuskupan agung yang melayani jutaan umat Ortodoks Yunani, Ukraina, Karpato-Russia, dan Albania di Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa Barat (di mana sebagian besar umatnya adalah orang-orang Yunani, Slavia dan diaspora Balkan lainnya), Australia dan Selandia Baru, Hong Kong, Asia Tenggara, Korea dan daerah-daerah tertentu di negara Yunani.
Kedudukan aktualnya adalah Patriark dari Gereja Ortodoks Konstantinopel, salah satu dari empat belas Gereja otokefalus dan dua Gereja otonom, serta yang tersenior (namun bukan yang tertua) dari empat tahta primasi kuno Ortodoks di antara lima pusat patriarki Kristiani yang merupakan Pentarki dari Gereja pra-skisma. Dalam perannya sebagai kepala Gereja Ortodoks di Konstantinopel, dia juga memegang gelar Uskup Agung Konstantinopel, Roma Baru.
Patriark Konstantinopel bukanlah Patriark Konstantinopel Latin, yakni suatu jabatan yang kini lowong, dan dibentuk setelah penaklukan Konstantinopel oleh kaum latin pada tahun 1204, dalam Perang Salib IV dan kini efektif tidak berfungsi lagi setelah kota itu direbut kembali oleh bangsa Yunani Byzantium, setengah abad sesudahnya. Dengan demikian dia juga dikenal di luar Ortodoksi sebagai Patriark Konstantinopel Yunani. Gelar resminya adalah "Yang Tersaleh, Tersuci, Uskup Agung Konstantinopel, Roma Baru, dan Patriark Ekumenis".

Peranan dalam episkopat Ortodoks

Patriark Ekumenis memiliki peranan yang unik di antara para uskup Ortodoks, meskipun bukannya tanpa kontroversi. Dia adalah primus inter pares ("yang pertama di antara yang sederajat"), karena dialah yang paling senior dari semua uskup Ortodoks. Primasi yang diekspresikan dalam literatur kanonik sebagai presveia ("prerogatif") ini menjadikan Patriark Ekumenis memiliki hak untuk memimpin sinode-sinode pan-Ortodoks.
Selain itu, literatur kanonik Gereja Ortodoks memberikan kepada Patriark Ekumenis hak untuk mendengarkan pengajuan-banding atas kasus-kasus perselisihan antar uskup, meskipun apakah hak-hak kanonik ini terbatas hanya untuk patriarkatnya sendiri atau bersifat universal di seluruh Gereja Ortodoks masihlah menjadi pokok perdebatan sampai sekarang, terutama antara Patriarkat Ekumenis dan Patriarkat Moskow.
Secara historis, Patriark Ekumenis pernah menerima pengajuan-pengajuan naik-banding tersebut dan kadang-kadang diundang untuk melakukan intervensi dalam perselisihan-perselisihan dan permasalahan-permasalahan Gereja-Gereja lain. Bahkan sejak zaman St. Yohanes Krisostomus (abad ke-5 Masehi), Konstantinopel cukup berpengaruh dalam pemberhentian sejumlah besar uskup di luar yurisdiksi tradisionalnya. Hal ini masih berlangsung sampai sekarang, karena pada tahun 2006 Patriarkat Konstantinopel diundang untuk membantu menyatakan bahwa Uskup Agung Gereja Ortodoks Siprus tidak kompeten sehubungan dengan penyakit Alzheimer yang diidapnya. Selain itu pada tahun 2005, Patriarkat Ekumenis menghimpun sebuah sinode pan-Ortodoks untuk mengekspresikan konfirmasi dunia Ortodoks atas pemberhentian Patriark Irenaios dari YerusalemPada tahun 2006, Patriarkat Konstantinopel diundang untuk mendengarkan pengajuan-banding dari seorang uskup Ortodoks Rusia di Kerajaan Inggris dalam kasus perselisihan dengan superiornya di Moskow, meskipun Moskow menolak baik keputusannya maupun hak untuk melakukannya.
Patriark Ekumenis tidak memiliki yurisdiksi langsung di luar Patriarkat Konstantinopel yang dianugerahkan kepadanya dalam literatur kanonik Ortodoks, namun fungsi primasinya dalam kaitannya dengan segenap Gereja Ortodoks merupakan kesepakatan bersama di antara Gereja-Gereja otokefalus dan Gereja-Gerja otonom, yakni fungsi untuk menjaga kesatuan Gereja.
Karena peranannya yang unik ini, Patriark Ekumenis kerap disebut sebagai "pemimpin spiritual" Gereja Ortodoks oleh beberapa sumber, meskipun sebutan ini bukanlah gelar resminya dan tidak pula biasa digunakan dalam sumber-sumber keilmuan mengenai Patriarkat Konstantinopel. Gelar tersebut dapat diterima bila ditilik dari peranan uniknya tersebut, namun gelar tersebut kadang-kadang menimbulkan kesalahpahaman bahwa jabatan Patriark Konstantinopel itu ekuivalen dengan suatu kepausan Ortodoks, kesan yang salah ini diberikan oleh berita-berita media-massa tanpa referensi yang tepat
Sejarah awal
Keuskupan Agung Konstantinopel memiliki kesinambungan historis sejak pendirian kota Konstantinopel pada tahun 330 Masehi oleh Konstantinus Agung. Karena Konstantinus Agung menjadikan Byzantium sebagai "Roma Baru" pada tahun 330, maka dianggap patut jikalau uskup kota itu, yang sebelumnya merupakan sufragan dari Keuskupan Agung Heraclea Pontica dan menurut tradisi merupakan penerus St. Andreas Rasul, naik ke peringkat kedua sesudah Uskup Roma Lama. Segera sesudah pemindahan ibukota Romawi, Keuskupan Konstantinopel dinaikkan derajatnya menjadi keuskupan agung.[4] Selama berpuluh-puluh tahun Sri Paus menentang ambisi tersebut, bukan karena ada yang menggugat posisinya sebagai yang nomor satu, melainkan karena Roma mempertahankan prinsip Petrus yakni seluruh patriarkat berasal dari Santo Petrus dan tidak berkenan merombak susunan hirarki sebelumnya hanya karena alasan politis.
Pasa tahun 381, Konsili Konstantinopel Pertama menyatakan bahwa "Uskup Konstantinopel harus memiliki primasi kehormatan sesudah Uskup Roma, karena Konstantinopel adalah Roma Baru" (kanon iii). Para paus menolak mengkonfirmasi kanon ini. Sekalipun demikian, prestise jabatan Uskup Konstantinopel terus meningkat bukan saja karena perlindungan nyata dari Kaisar Byzantium melainkan juga karena kebesaran dan letak geografisnya yang penting itu. Para Paus Roma memang sadar akan situasi ini.
Konsili Khalsedon pada tahun 451 menetapkan Konstantinopel sebagai sebuah patriarkat dengan yurisdiksi gerejawi atas Asia Kecil (Keuskupan Asiane dan Keuskupan Pontus) dan Thrace serta atas daerah teritorial kaum barbar, yaitu negeri-negeri yang belum dikristenkan di luar batas wilayah Patriarkat Barat (Roma Lama), Patriarkat Aleksandria, Patriarkat Antiokhia, dan Patriarkat Yerusalem. Ketetapan itu menjadikan Keuskupan Konstantinopel memiliki yurisdiksi untuk menerima pengajuan-banding ekstrateritorial atas keputusan-keputusan hukum kanonik oleh patriark-patriark lain serta menjadikan Keuskupan Konstantinopel memperoleh kehormatan-kehormatan yang setara dengan yang dimiliki tahta Kristiani nomor satu, yakni Roma, kendati demikian dalam hal primasi, Roma tetap memiliki senioritasnya (kanon xxviii). Paus Leo I menolak menerima kanon ini, dengan bersandar pada fakta bahwa kanon tersebut dibuat tanpa kehadiran legatusnya. Pada abad ke-6, gelar resmi Uskup Konstantinopel menjadi "Uskup Agung Konstantinopel, Roma Baru, dan Patriark Ekumenis."[4]
Yang menjabat sebagai Patriark Konstantinopel saat ini (sejak tahun 1991) adalah Bartolomeus I yang lebih terkenal dari pada para pendahulunya di zaman modern karena banyaknya kunjungan pastoral dan kunjungan lain yang dilakukannya ke berbagai negara di lima benua, serta karena biro permanen yang dibentuk olehnya di kantor pusat Uni Eropa. Selain itu dia juga telah memperbesar Pusat Patriarkal yang sudah lama berdiri di Chambesy, Swiss serta melakukan kegiatan-kegiatan ekologis yang membuatnya dijuluki "Patriark Hijau."

[sunting] Etnarki Ottoman


Kolose Ortodoks Yunani Phanar dekat Gereja Santo Georgius, Tahta Patriarkat Ekumenis
Tatkala kaum Turki Ottoman menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453, patriarkat berhenti berfungsi. Jabatan patriark kemudian diembankan pada tahun 1454 kepada Georgius Scholarius, seorang rahib-sarjana Byzantium, yang termasyhur karena penentangannya terhadap persatuan dengan Gereja Latin dan mengambil nama Gennadius II. Gennadius diangkat oleh penguasa Muslim Ottoman Sultan Mehmed II, yang ingin mendirikan dinastinya sebagai penerus para Kaisar Romawi Timur, dan yang mengadopsi gelar kekaisaran Kayser-i-Rûm "Kaisar Rum", bukan salah satu dari gelar utamanya namun yang merupakan gelar terpenting. Patriark Konstantinopel ditunjuk sebagai etnark dari Millet Rum (Kata dalam Bahasa Turki yang artinya Roma, yaitu Byzantium), yang meliputi seluruh umat Kristiani Ortodoks di bawah pemerintahan Ottoman, tanpa memandang kebangsaan mereka. Peranan ini dipikul orang-orang dari etnis Yunani dengan susah payah, di tengah-tengah berbagai kesulitan, jebakan, dan tak terelakkan dengan tingkat kesuksesan yang naik turun. Beberapa tokoh yang pernah menjabat sebagai Patriark Konstantinopel dieksekusi dalam waktu singkat oleh penguasa Ottoman, teristimewa Patriark Gregorius V pada Hari Senin Paskah tahun 1821 sebagai akibat dari pecahnya pemberontakan kaum Yunani yang terakhir dan satu-satunya yang pernah sukses.
Pada abad ke-19, bangkitnya nasionalisme dan sekularisme di negara-negara Kristiani Balkan mengakibatkan berdirinya beberapa Gereja nasional otokefalus, umumnya di bawah pimpinan Patriark atau Uskup Agung otonom, sehingga menjadikan kontrol langsung Partiark ekumenis hanya terbatas pada umat Kristiani Turki, sebagian Yunani dan keuskupan-keuskupan agung di Amerika, Asia, Afrika, dan Oseania di mana komunitas migrasi orang-orang Yunani dan bangsa-bangsa lainnya makin lama makin bertambah sehingga membentuk diaspora Ortodoks yang signifikan.

 Athos

Patriark Ekumenis juga secara resmi merupakan "Pemimpin Spiritual" dan satu-satunya uskup di "Negara Monastik Otonom Pegunungan Suci", atau "Republik Athonit" di Gunung Athos, fakta ini menjadikannya sebagai Kepala Negara Otonom tersebut, yang merupakan bagian dari negara Yunani di bawah hukum internasional.

Isu-isu kebebasan beragama

Negara Turki modern masih mewajibkan bahwa Patriark Konstantinopel haruslah seorang warga negara Turki (meskipun hampir seluruh warga Ortodoks Yunani telah meninggalkan Turki) namun mengizinkan Sinode Para Uskup Metropolitan untuk memilih Patriark Konstantinopel.Oleh karena itu, sejak berdirinya negara Turki modern, jabatan Patriark Ekumenis diduduki oleh warga etnis Yunani, yang harus menjadi warga negara Turki karena kelahiran.
Kelompok-kelompok hak azasi manusia dan pemerintah-pemerintah negara lain sudah lama memprotes syarat-syarat yang ditetapkan pemerintah Turki atas Patriark Ekumenis tersebut.Sebagai contoh, status ekumenis yang dikenakan padanya dalam Ortodoksi Timur, dan diakui oleh pemerintah Ottoman, kerap menjadi sumber kontroversi di Republik Turki yang, menurut undang-undang kaum minoritas keagamaan, secara resmi mengakui dia hanya sebagai "Patriark Fener" (Fener adalah distrik di Istanbul tempat kantor pusat patriarkat). Ekspropriasi properti Gereja dan penutupan Sekolah Teologi Ortodoks di Halki juga disinggung oleh kelompok-kelompok hak azasi manusia. Sekalipun demikian pada tahun 2004, Patriark Bartolomeus berhasil, setelah 80 tahun, mengganti komposisi keanggotaan Sinode Tetap Para Uskup Metropolitan di Konstantinopel yang berjumlah 12 orang itu sehingga dapat pula mencakup enam orang uskup dari luar Turki. Dia juga menggelar pertemuan seluruh uskup dalam wilayah yurisdiksinya dua kali setahun di Konstantinopel.
Patriarkat Ekumenis Konstantinopel telah menjadi target serangan bom (pada tahun 1993, 1994, 1996, 1997, 1998, 2004), penajisan kompleks pemakaman, dan serangan perorangan terhadap Patriark Ekumenis.rajat) dalam Komuni Ortodoks Timur, yang dipandang oleh umatnya sebagai Gereja yang Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik. Secara historis dia dikenal dengan sebutan Patriark Konstantinopel Yunani, berbeda dengan Patriark Konstantinopel Armenia. Yang mengemban jabatan tersebut saat ini adalah Patriark Ekumenis Bartolomeus I dari Konstantinopel. Gelarnya tidak diakui oleh pemerintah Turki, yang hanya mengakuinya sebagai pemimpin spiritual kaum minoritas Yunani di Turki, dan menyebut dia hanya sebagai Patriark Ortodoks Yunani Phanar (Bahasa Turki: Fener Rum Patriği).