Cultuurstelsel Sistem
Kultivasi atau secara kurang
tepat diterjemahkan sebagai Sistem
Budaya) yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa, adalah
peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830yang
mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami
komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu,
dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual
kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen
diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah
harus bekerja 66 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah
yang menjadi semacam pajak.
Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena
seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya
diserahkan kepada pemerintahan Belanda.
Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak.
Berikut adalah isi dari aturan tanam paksa
§ Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar
menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau
seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
§ Pembebasan tanah yang disediakan untuk
cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran
pajak.
§ Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat
menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di
pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
§ Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah
per
Kritik
kaum liberal
Kritik kaum humanis
Dampak
Dalam bidang pertanian
Dalam bidang sosial
Dalam bidang ekonomi
Kritik
kaum liberal
Usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan
telah berhasil pada tahun 1870,
dengan diberlakukannya UU Agraria,Agrarische Wet. Namun tujuan yang
hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam
Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.
Gerakan liberal di
negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan
yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di
negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur
tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi
ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung
warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan
serta ketertiban.
UU ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta
menyewa lahan-lahan yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk
ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, tarum (nila), atau untuk tanaman semusim seperti tebu dantembakau dalam bentuk sewa jangka pendek.
Kritik kaum humanis
Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU
Agraria, ini mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten,
Eduard Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860).
Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli.
Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat
tekanan pejabat Hindia Belanda.
Seorang anggota Raad van Indie, C. Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang
membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat
dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899.
Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar
memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van
Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.
Dampak
Dalam bidang pertanian
Cultuurstelsel menandai
dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi
dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai
dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer
pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman
"tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala,
dan cengkeh.
Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya
produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya
penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian,
dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian.
Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian
pertanian dilakukan secara serius.
Dalam bidang sosial
Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak
mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap
sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang
berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. Ikatan antara penduduk dan
desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri.
Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan
terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan
penduduknya. Dan terjadinya perbedaan kelas antara para petani dan orang Eropa
, mengakibatkan terbentuknya perbedaan ras .
Dalam bidang ekonomi
Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal
sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih
mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan
maupun di pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa
diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman
eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan
pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman
eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut
menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja
rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak,
menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah
kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan,
waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan
benteng-benteng untuk tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat
diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut
surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan
melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai
kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri.
tanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang
lebih 3 (tiga) bulan
§ Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan
akan dikembalikan kepada rakyat
§ Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal
panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang
hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
§ Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa
kepada kepala desa memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan
pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan
kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan
negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada zaman VOC wajib
menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan
sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam
paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan
kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda
ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.
Cultuurstelsel kemudian
dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam
sejarah penjajahan Indonesia.
1 komentar:
lumayan buat pengetahuan
Posting Komentar